OPINI - Demokrat sedang mau dicaplok. Kata Romahurmuzy, dicopet. Entah apapunlah istilahnya. Bahasa ini muncul karena pihak yang ingin ambil Demokrat adalah Moeldoko. Moeldoko bukan kader Demokrat. Ia ingin ambil Demokrat. Meski melibatkan mantan orang internal Demokrat. Ini aneh dan terlalu nekat.
Lepas dari segala dinamika di partai berlambang mersi ini, upaya pengambilalihan partai Demokrat oleh orang di luar kader partai adalah tidak wajar dan terkesan sangat kasar. Apalagi jika mengingat bahwa Moeldoko adalah Panglima TNI yang diangkat presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dalam hal ini, SBY-lah yang pernah membesarkan Moeldoko sampai puncak karir militernya. Ketika Moeldoko gabung ke pemerintahan yang sekarang sebagai Kepala Staf Kepresidenan, mengapa ia, kata orang Jawa, tega ambil alih Demokrat. Kok bisa ya?
Moeldoko saat ini menjadi Kepala Kantor Staf Presiden atau KSP. Maka, sepak terjang Moeldoko pada akhirnya "mau tidak mau" menyeret nama Jokowi, presiden ke-7 RI. Apa yang dilakukan Moeldoko pasti diketahui oleh Jokowi. Setidaknya, Jokowi membiarkan upaya Moeldoko ambil alih Demokrat. Publik bahkan memahaminya lebih dari itu.
Moeldoko bukan siapa-siapa jika tidak menjadi Kepala Staf Kepresidenan. Tanpa posisi dan kekuasaan di tangannya, sulit dibayangkan Moeldoko berani dan punya nyali untuk mengambil alih partai milik mantan presiden. Rasa-rasanya sulit itu bisa terjadi.
Karena Moeldoko adalah Kepala Kantor Staf Presiden, maka sepek terjangnya akan dikait-kaitkan dengan presiden yang sekarang. Konflik di Demokrat tidak lagi dipahami publik sebagai rivalitas Moeldoko dengan SBY. Ini dianggap tidak apple to apple. Tidak kelasnya. Bukan lawan yang seimbang. Publik membacanya ini adalah rivalitas Jokowi vs SBY.
SBY tentu akan all out, menggunakan semua kekuatannya untuk melawan dan mempertahankan Demokrat. Ini bukan soal politik dan nasib anaknya, Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY. Tapi, ini soal harga diri. Harga diri seorang mantan presiden dua periode. Apa yang dilahirkan, dirintis dan dibesarkannya, mau diambil alih begitu saja oleh orang luar. Ini terlalu kasar.
Coba bayangkan, mantan presiden dua periode, partai yang dirintis dan dibesarkannya dengan segala jerih payah diambil begitu saja oleh penguasa setelahnya. Ini tentu membuat SBY amat tersinggung dan sakit hatinya pada lebel tingkat dewa. Banyak orang tidak suka sama SBY. Tapi dalam konteks perampasan partai Demokrat, publik bersimpati dan membela SBY. Karena ini dianggap tidak lazim dan berpotensi merusak perpolitikan Indonesia di masa depan.
Jepara, 5 Mei 2023
Baca juga:
Tony Rosyid: Pemilu Ditunda? No Way!
|
Tony Rosyid
Pengamat Politik dab Pemerhati Bangsa